MENULIS, Antara Bakat dan Tekad

Menulis. Siapa yang tidak bisa memegang pena kemudian menorehkan tintanya di selembar kertas? Tapi kata ‘menulis’, yang dilihat dari sudut pandang sebagai suatu kegiatan personal –dalam artian bukan menulis pelajaran atau tugas sekolah- seringkali membuat orang yang tidak tertarik mendengarnya saja sudah pesimis duluan. Ada juga orang yang mengaku ingin ‘bisa menulis’, tapi disuruh menulis diary saja sudah merengek. Sebenarnya apa yang salah dengan sebuah kegiatan bernama ‘menulis’?
Menulis, baik itu menulis artikel, opini, cerita, puisi, apapun lah, bagi sebagian orang masih di cap sebagai kegiatan yang memerlukan bakat. Memang tidak sepenuhnya salah, tapi bakat ada pada nomor ke sekian sebagai faktor penentu dalam keberhasilan menulis. Jadi, salahnya di mana? Yup! Tentu saja kesalahan ada pada persepsi masing-masing orang yang menilai bahwa menulis hanya bisa di lakukan ketika kita diberikan cukup anugerah oleh Tuhan untuk berkarya. Selebihnya, “I have no talent, and I give up”. Begitu mendarah dagingnya tradisi ‘terima nasib’ akibat penjajahan bangsa Eropa di negeri ini selama berabad-abad lamanya. Baiklah, ayo kita kembali ke masalah menulis.

Allah swt pasti membagi rata masing-masing hambaNya sebentuk talenta. Jika A mendapat kelebihan dalam hal ini, maka ia pasti mempunyai kekurangan dalam hal lainnya. Begitupun dengan B, C, dan seterusnya. Namun kadang, kita tidak mau sedikit lebih bersabar seperti Thomas Alva Edison yang setia mencoba sampai lebih dari 1000 kali demi menghidupkan sebuah bola lampu. Akibatnya, potensi yang seharusnya bisa ditemukan manakala kita menggali lebih dalam tidak pernah bisa menjadi berarti. Menulis juga merupakan potensi yang diam-diam pasti melekat pada setiap individu. Kalau kita tidak memaksakan menjebol penutupnya untuk kita bawa ke luar, potensi itu akan selamanya terkubur bahkan makin tertutup hari demi hari oleh berbagai sampah yang menumpuk. 

Bukankah hampir setiap orang, apalagi yang masih berstatus pelajar, bisa menggunakan pena? Memiliki buku? Setidaknya selembar kertas bekas alas gorengan? Memahami abjad? Kalau begitu menulislah! Jangan pikirkan terlalu rumit, seperti apa yang selanjutnya, bagaimana gaya bahasanya, dan pikiran-pikiran pembawa kekhawatiran lainnya. Semakin banyak yang kita pikirkan sebelum menulis, semakin lama waktu diulur. Lama-lama malah tidak jadi menulis. Jangan pikirkan bagaimana kita bisa menulis layaknya Kang Abik (Habiburrahman El-Shirazy), atau Andrea Hirata, atau penulis terkenal lainnya. Tapi berpikirlah bahwa kita adalah kita. Kita tidak perlu menjadi mereka setiap kali kita ingin menulis. Tulislah apa yang sedang terlintas saat itu juga.
Tidak bisa dielakkan lagi, bahwa menulis sudah menjadi suatu kebutuhan bagi hidup kita. Mau bukti? Lihat saja berbagai jejaring sosial yang lagi naik daun saat ini. Setiap detik selalu bermunculan tulisan-tulisan baru, walau hanya sekedar tulisan ringan dan sangat singkat. Itu sudah membuktikan bahwa apa yang kita rasakan saat itu adalah apa yang ingin kita tuliskan. Memang tujuannya bermacam-macam, mulai dari iseng sampai yang tujuannya ingin pamer. Tapi titiknya adalah potensi menulis itu sendiri. Bangsa Indonesia yang istilahnya masih rawan oleh segala yang baru ini perlu sebuah budaya untuk menjaga agar jangan sampai terlalu kebablasan di tengah pengaruh yang serba bebas. Salah satunya ya menulis. Menulis untuk selalu mengingatkan siapa diri sendiri, apa yang sudah dan akan dilakukan, dan menulis untuk akhirnya menjadi sejarah. Sebuah catatan yang bisa menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya ketika mereka membaca tulisan kita. Jadi, alasan apa lagi yang masih menahan kita untuk tidak menulis? :)


-HL-
Bagikan Artikel ini :
 

Posting Komentar

Monggo dikomentari.. :)

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ADS ROSSTAR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger