Yang bikin fantasi, yang makin digandrungi. Yang menjual banyak sensasi, yang banyak dibeli. Kenyataannya memang seperti itu hukum alam di Indonesia. Mungkin tidak sepenuhnya salah jika negara ini dikatakan negara yang ‘demen sensasi’.
Mendengar kata sensasi, hal pertama yang paling sering orang pikirkan pertama kali tentu “artis”. Artis, industri hiburan, akhirnya terpikir juga istilah perfilman. Mungkin film Indonesia masih ada yang bisa diluluskan uji kelayakan untuk ditonton. Tapi bagaimana dengan sinetronnya? Tampaknya sinetron Indonesia layaknya primadona hiburan bagi rakyat yang jenuh di tengah ruwetnya isi pemberitaan yang tidak pernah absen diisi kasus korupsi. Okelah, banyak mahasiswa yang lebih memilih menonton siaran televisi yang mengajak penontonnya berpikir cerdas dan kritis. Tapi bandingkan, lebih banyakkah jumlah mahasiswa daripada “rakyat biasa” di negeri ini? Lantas apa tempat pelarian para “rakyat biasa” itu setelah lelah mencari upah seharian? Tak bisa dielak, sinetronlah tempat pikiran dan mata dilarikan untuk menghibur diri.
Seakan tak pernah mempermasalahkan cerita yang monoton, penggemar sinetron makin bejibun, ratingnya jadi naik gunung, aktor dan aktrisnya makin eksis, produknya laris manis. Parahnya, sinetron Indonesia tampaknya sudah terbiasa mencekoki para penontonnya dengan cerita-cerita ganjil nan menggurui. Tokoh utama berbudi baik yang kalau dalam pelajaran bahasa Indonesia disebut sebagai tokoh protagonis, selalu menjadi bulan-bulanan tokoh antagonis. Si protagonis pun tidak pernah bisa melawan, bahkan jika keadaan memaksa si antagonis untuk kalah, si baik akan menutupi kesalahan tokoh antagonis dan berpura-pura tidak pernah disakiti agar menciptakan figur sebagai orang yang benar-benar berhati mulia. Aneh, mau menjadi orang baik saja kok banyak sekali siksaannya. Dan, apakah orang yang baik itu adalah orang yang ‘melindungi’ yang jahat? Kesannya jadi seperti KKN ya? Dampak terparah dari sinetron sebenarnya ada pada anak-anak yang juga asik saja diajak menonton sinetron oleh orangtuanya. Bukan hal baru lagi kalau ada anak yang jika ditanyakan, ingin menjadi tokoh baik atau jahat, malah menjawab tidak ingin menjadi yang baik. Mengapa? Ternyata, menurut mereka, tokoh baik selalu disiksa!
Sinetron berkedok Islam malah lebih parah. Apalagi sinetron anaknya: yang punya kekuatan ini lah, itu lah, yang bisa mengubah sesuatu, bahkan ada ceritanya anak yang punya layaknya mukjizat sehingga banyak orang meminta pertolongan padanya. Bukankah yang seperti ini yang paling berbahaya bagi akidah kita? Secara tidak sadar, anak-anak menyimpan pesan bahwa ada kekuatan lain yang bisa diandalkan selain kekuatan Allah swt. Bahwa mereka bisa mengendalikan bahkan menolak ‘bala’. Tidak berlebihan jika kita memandang sinetron sebagai sesuatu yang mulai harus kita boikot. Pemboikotan dalam artian sebenarnya memang tidak bisa kita lakukan. Pemboikotan yang mungkin adalah tindakan tidak menonton sinetron dan tidak memilih channel berisi sinetron selama sinetron itu ditayangkan.
Pemboikotan kecil ini mungkin tidak berpengaruh apa-apa pada pihak entertaiment, apalagi pemboikotan ini hanya dilakukan oleh sepersekian dari sebagian kecil masyarakat yang peduli. Tapi insya Allah besar pengaruhnya bagi terjaganya akidah dan pikiran kita dari tontonan tidak cerdas dan membodohi. Memang tidak semua sinetron Indonesia seburuk itu, tapi kebanyakan produsernya tetap saja ngotot ingin memproduksi cerita yang skenarionya didramatisir. Sekali lagi, Indonesia memang negara ‘demen sensasi’ sekaligus yang ‘latah informasi’.
-HL-