Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya... (Hr. Bukhori dan Muslim)
Hadits di atas memang cukup populer dan banyak menjadi rujukan pemuda Islam dalam menanamkan jiwa kepemimpinannya. Tapi banyak juga yang merasa masa bodo dengan anugerah berupa ‘bakat memimpin’ yang Allah titipkan pada setiap diri kita.
Memimpin, tak selamanya diidentikkan dengan memimpin sebuah organisasi. Lihatlah dari yang paling dasar, yaitu memimpin diri. Kecakapan dalam memimpin organisasi pastilah berawal dari kecakapan memimpin diri sendiri. Tinggal kita yang mengoptmalkan dan mengolah lebih lanjut, kemampuan memimipin diri sendiri itu menjadi kemampuan yang bisa memimpin dalam ruang lingkup yang lebih luas. Caranya?
Organisasi adalah sarana paling awal dan sederhana dalam membentuk jiwa kepemimpinan. Karena organisasi selalu menuntut kita untuk selalu berhubungan dengan orang lain. Organisasi juga merupakan wadah tempat kita melihat salah satu hikmah mengapa Allah swt menciptakan berbeda, antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Jika seorang bersifat lemah, maka yang lain harus bisa kuat. Jika seorang bersifat keras, maka yang lain harus bisa lembut. Begitupun seterusnya. Di sinilah peran kepemimpinan kita diuji. Banyak sekali masalah dan tantangan dalam berorganisasi. Mulai dari perbedaan pendapat, perbedaan perilaku, dll. Bagaimana kita layak disebut pemimpin, kalau mengendalikan diri untuk tetap teguh dalam sebuah organisasi saja sulit.
Memang, kadang kita dihadapkan pada suatu masalah yang mengharuskan kita untuk mundur dari sebuah organisasi. Mungkin karena organisasi itu sudah tidak bisa membuat kita lebih baik, atau organisasi itu sudah tidak memberikan makna berarti bagi diri kita. Istilahnya, ya, seakan-akan membuang waktu saja. Kasus seperti ini tidak lagi termasuk gagal dalam kepemimpinan. Justru kepemimpinanlah yang saat ini sedang beraksi. Bagaimana akhirnya kita bisa mengendalikan pikiran dan hati kita. Memilah-milih antara yang harus diprioritaskan atau yang harus disingkirkan. Kalau sekiranya sebuah organisasi tidak lagi memberikan ruang manfaat bagi diri kita, bukankah lebih baik ditinggalkan dan memfokuskan diri bagi organisasi lainnya? Karena setiap yang kita pegang pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawabannya jua.
Dari sini kita mulai bisa melihat, bahwa yang terpenting dalam membangun jiwa kepemimpinan adalah tanggung jawab. Setiap orang, sebagai pemimpin mempunya banyak tanggung jawab besar.
“...Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya”. (Hr. Bukhori dan Muslim)
Toh, kalaupun kita tidak sempat berkecimplung dalam organisasi, kita masih saja mempunya tanggung jawab dalam memimpin. Contohnya memimpin keluarga suatu saat nanti.
Kepemimpinan: Potensi dan Usaha
Tidak ada paksaan dalam bagaimana kita membentuk diri kita. Bahkan tidak ada paksaan dalam memilih agama. Ingat, kan, surat Al-kafirun ayat 6,
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”
Yang ada adalah, kita diberi kesempatan untuk menilai mana yang baik dan buruk, dan memilih yang benar. Begitu juga dengan potensi. Antara yang terus memendamnya, atau menggali dan mengembangkannya. Jiwa kepemimpinan sesungguhnya telah berakar pada diri kita, bahkan jauh sebelum kita mengenal sebuah kata “pemimpin”. Lihat saja anak kecil yang bermain. Jarang ada yang mau menjadi pembantu. Semua ingin jadi majikan. Contoh lain, ketika dua orang anak kecil diberi sebuah kue. Masing-masing anak pasti ingin menjadi yang memotong kue itu. Dua contoh ini sudah cukup memberi kita bukti, bahwa setiap dari kita punya potensi memimpin.
Lalu, bagaimana cara meningkatkannya? Sebelum jauh berpikir, lebih baik kita benahi dulu semangat kepemimpinan dalam diri kita. Semangat untuk menjadi lebih baik, dan semangat untuk tidak pernah puas. Dengan membuat diri sendiri lebih baik, dengan sendirinya kita akan layak disebut pemimpin. Sementara itu, rasa tidak pernah puas dengan segala hasil karya kita membuat kita terus maju. Yang harus digarisbawahi adalah, tidak puas itu sama sekali berbeda dengan tidak bersyukur.
Islam butuh pemuda dengan semangat memimpin dan rasa tidak puas tinggi. Bagaimana jadinya seandainya pemimpin cepat puas? Agaknya cerita ini hanya akan berakhir seperti berakhirnya kisah perang uhud. Dimana ketika pasukan kafir terlihat kalah sedikit, pasukan pemanah langsung lengah dan mengambil rampasan perang. Seperti itulah orang-orang yang tidak bisa memimpin dirinya sendiri untuk tidak cepat puas dan lebih bersabar. Yang kita tahu adalah, pasukan Islam mengalami kekalahan karena secara tiba-tiba, pasukan kafir menyerang dari belakang.
Pengalaman yang terjadi di zaman Nabi ini telah cukup memberi gambaran kita akan bagaimana kita seharusnya menjadi pemimpin, bukan hanya bagi orang lain, tapi juga bagi diri sendiri. Selamat Memimpin! :)
Hadits di atas memang cukup populer dan banyak menjadi rujukan pemuda Islam dalam menanamkan jiwa kepemimpinannya. Tapi banyak juga yang merasa masa bodo dengan anugerah berupa ‘bakat memimpin’ yang Allah titipkan pada setiap diri kita.
Memimpin, tak selamanya diidentikkan dengan memimpin sebuah organisasi. Lihatlah dari yang paling dasar, yaitu memimpin diri. Kecakapan dalam memimpin organisasi pastilah berawal dari kecakapan memimpin diri sendiri. Tinggal kita yang mengoptmalkan dan mengolah lebih lanjut, kemampuan memimipin diri sendiri itu menjadi kemampuan yang bisa memimpin dalam ruang lingkup yang lebih luas. Caranya?
Organisasi adalah sarana paling awal dan sederhana dalam membentuk jiwa kepemimpinan. Karena organisasi selalu menuntut kita untuk selalu berhubungan dengan orang lain. Organisasi juga merupakan wadah tempat kita melihat salah satu hikmah mengapa Allah swt menciptakan berbeda, antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Jika seorang bersifat lemah, maka yang lain harus bisa kuat. Jika seorang bersifat keras, maka yang lain harus bisa lembut. Begitupun seterusnya. Di sinilah peran kepemimpinan kita diuji. Banyak sekali masalah dan tantangan dalam berorganisasi. Mulai dari perbedaan pendapat, perbedaan perilaku, dll. Bagaimana kita layak disebut pemimpin, kalau mengendalikan diri untuk tetap teguh dalam sebuah organisasi saja sulit.
Memang, kadang kita dihadapkan pada suatu masalah yang mengharuskan kita untuk mundur dari sebuah organisasi. Mungkin karena organisasi itu sudah tidak bisa membuat kita lebih baik, atau organisasi itu sudah tidak memberikan makna berarti bagi diri kita. Istilahnya, ya, seakan-akan membuang waktu saja. Kasus seperti ini tidak lagi termasuk gagal dalam kepemimpinan. Justru kepemimpinanlah yang saat ini sedang beraksi. Bagaimana akhirnya kita bisa mengendalikan pikiran dan hati kita. Memilah-milih antara yang harus diprioritaskan atau yang harus disingkirkan. Kalau sekiranya sebuah organisasi tidak lagi memberikan ruang manfaat bagi diri kita, bukankah lebih baik ditinggalkan dan memfokuskan diri bagi organisasi lainnya? Karena setiap yang kita pegang pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawabannya jua.
Dari sini kita mulai bisa melihat, bahwa yang terpenting dalam membangun jiwa kepemimpinan adalah tanggung jawab. Setiap orang, sebagai pemimpin mempunya banyak tanggung jawab besar.
“...Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya”. (Hr. Bukhori dan Muslim)
Toh, kalaupun kita tidak sempat berkecimplung dalam organisasi, kita masih saja mempunya tanggung jawab dalam memimpin. Contohnya memimpin keluarga suatu saat nanti.
Kepemimpinan: Potensi dan Usaha
Tidak ada paksaan dalam bagaimana kita membentuk diri kita. Bahkan tidak ada paksaan dalam memilih agama. Ingat, kan, surat Al-kafirun ayat 6,
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”
Yang ada adalah, kita diberi kesempatan untuk menilai mana yang baik dan buruk, dan memilih yang benar. Begitu juga dengan potensi. Antara yang terus memendamnya, atau menggali dan mengembangkannya. Jiwa kepemimpinan sesungguhnya telah berakar pada diri kita, bahkan jauh sebelum kita mengenal sebuah kata “pemimpin”. Lihat saja anak kecil yang bermain. Jarang ada yang mau menjadi pembantu. Semua ingin jadi majikan. Contoh lain, ketika dua orang anak kecil diberi sebuah kue. Masing-masing anak pasti ingin menjadi yang memotong kue itu. Dua contoh ini sudah cukup memberi kita bukti, bahwa setiap dari kita punya potensi memimpin.
Lalu, bagaimana cara meningkatkannya? Sebelum jauh berpikir, lebih baik kita benahi dulu semangat kepemimpinan dalam diri kita. Semangat untuk menjadi lebih baik, dan semangat untuk tidak pernah puas. Dengan membuat diri sendiri lebih baik, dengan sendirinya kita akan layak disebut pemimpin. Sementara itu, rasa tidak pernah puas dengan segala hasil karya kita membuat kita terus maju. Yang harus digarisbawahi adalah, tidak puas itu sama sekali berbeda dengan tidak bersyukur.
Islam butuh pemuda dengan semangat memimpin dan rasa tidak puas tinggi. Bagaimana jadinya seandainya pemimpin cepat puas? Agaknya cerita ini hanya akan berakhir seperti berakhirnya kisah perang uhud. Dimana ketika pasukan kafir terlihat kalah sedikit, pasukan pemanah langsung lengah dan mengambil rampasan perang. Seperti itulah orang-orang yang tidak bisa memimpin dirinya sendiri untuk tidak cepat puas dan lebih bersabar. Yang kita tahu adalah, pasukan Islam mengalami kekalahan karena secara tiba-tiba, pasukan kafir menyerang dari belakang.
Pengalaman yang terjadi di zaman Nabi ini telah cukup memberi gambaran kita akan bagaimana kita seharusnya menjadi pemimpin, bukan hanya bagi orang lain, tapi juga bagi diri sendiri. Selamat Memimpin! :)
Posting Komentar
Monggo dikomentari.. :)