Sering kita langsung menolak kesempatan ketika misalnya ditawari untuk mengikuti sebuah kompetisi atau perlombaan. Alasannya simpel saja, “aku nggak puya bakat,”. Istilah tidak punya bakat saat ini makin populer saja terdengar dikalangan pemuda, tak terkecuali pemuda Islam. Memang tidak setiap orang mempunyai bakat yang sama, tapi tidak ada istilah untuk tidak punya bakat.
Pada dasarnya, manusia diciptakan dengan berbagai potensi diri melekat padanya. Ada yang berpotensi menjadi desainer, progammer, ada juga yang berbakat jadi seorang bisnisman. Tapi belum sempat potensi itu dimanfaatkan, kebanyakan pemuda sudah menguburnya dengan berbagai vonis dari diri sendiri. Vonis tidak punya bakat! Padahal, anggapan diri sendiri itu adalah faktor utama terhambatnya kreativitas. Inilah yang dinamakan sugesti. Sudah nggak asing lagi kan, dengan istilah sugesti? Dan lihatlah, bagaimana sugesti begitu hebatnya bisa mempengaruhi kita. Seperti sering lihat pada acara-acara reality show di TV. Misalnya, ada orang yang terang-terangan mengatakan aibnya sendiri, mau melakukan ini-itu, tentu, setelah ia mendapatkan sebuah sugesti (hipnotis) terlebih dahulu.
Begitu juga proses pen’sugestian’ terjadi pada diri kita. Walau tidak kasat mata dan jelas-jelas tidak ada wujud pastinya, tapi otak bawah sadar kitalah yang bekerja. Mencerna apa makna dari yang kita pikirkan. Sekali kita mengatakan tidak bisa, maka selamanya otak kita akan menyimpan informasi bahwa kita tidak bisa. Sedikit banyak, itu akan berpengaruh pada kinerja kita, kan?
Sebenarnya, apa sih yang menghambat kita untuk terus memendam potensi dan bakat kita? Ada beberapa sebab mengapa kita terkesan “tidak punya bakat”, diantaranya:
1. Malas
Ini nih yang sering jadi dedengkot atas menurunnya daya dan semangat produktivitas kita. Orang yang paling pintar sekalipun bisa menjadi gagal kalau ia memelihara sifat malas. Malas disini bisa bercabang menjadi berbagai bentuk kemalasan. Tapi yang paling bebahaya adalah malas untuk menemukan dan mengembangkan bakat itu sendiri. Bagaimana kita mau dibilang berbakat, kalau kita sendiri saja tidak mau mencari tahu apa bakat kita. Bahkan jika mungkin sudah mengetahui apa bakatnya, seringkali rasa malaslah yang membuat bakat kita tidak berkembang.
Seringkali kita bergumam, jika melihat pemuda Indonesia bisa mengalahkan pemuda-pemuda dari manca negara dalam olimpiade internasional. Hal yang digumamkan tentu saja, “sebenarnya orang Indonesia ini pintar-pintar, ya!”. cukup puaskah kita dengan sebuah kata ‘sebenarnya’? tapi memang begitulah yang terjadi di negara kita ini. para pemudanya sebenarnya punya bekal untuk menjadi yang sukses. Punya bakat untuk ‘menghidupkan’ Indonesia di kancah internasional. Tapi, malas banyak yang dijadikan tindakan kesayangan. Yang paling mencolok adalah penyakit ‘malas membaca’ oleh sebagian besar orang Indonesia. Pemberantasan buta huruf yang dilakukan pemerintah beberapa tahun lalu memang berhasil, tapi sepertinya penumbuhan semangat membacanya yang belum kelihatan. Lho, apa hubungannya dengan bakat? Jelas, misalkan sebenarnya kita punya bakat dalam merakit robot, tapi apa bisa bakat itu kita kembangkan tanpa satu pun buku referensi yang kita baca? Bisa sih, bisa, tapi pasti hasilnya lebih maksimal dengan kita membaca.
2. Lamban
Orang yang lamban memang tetap punya suatu bakat. Tapi kebanyakan orang pasti beranggapan, “mana mungkin orang seperti itu punya bakat?”. Wah, sakit banget nggak tuh dibilang sperti itu? Menjadi seorang muslim berarti juga dituntut menjadi seorang yang cepat. Bukankah Allah swt berfirman,
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS Alam Nasyroh: 7)
3. Tidak mempercayakan sepenuhnya urusan pada Allah
Yup! Orang yang “terkesan nggak berbakat”, pasti seperti disebutkan di atas, karena dirinya sendiri pun tidak punya keyakinan bahwa dia bisa. Dan itu tuh nggak jauh dari perasaan tidak mempercayakan sepenuhnya segala urusan pada Allah. Bukankah kalau kita lebih sabar untuk terus berusaha mengasah bakat kita, pasti Allah membantu kita, kan? Ada istilahnya, ‘meminta surga saja bisa, apalagi hanya minta yang begituan,’. Kunci dari semuanya hanyalah bertawakkal. “Faidza Azzamta, fatawakkal alallah”.
Itu hanya sebagian kecil saja dari faktor penghambat kita menjadi orang yang berbakat. Lha, kalau sudah terlanjur begitu, gimana?
1. Pergunakan setiap kesempatan yang kiranya bisa membantu mengembangkan bakat kita. Jangan pernah tunda-tunda kesempatan itu. Sering, kan, dengar kalimat, “kesempatan itu hanya datang sekali”?
2. Jangan menyerah. Mungkin kalimat tsb pasaran banget, ya? tapi ada masanya juga kita harus renungkan kata-kata itu.
3. Serahkan segala urusan pada Allah. Bagaimanapun kita berusaha mengembangkan bakat kita, kalau tidak diimbangi dengan tawakkal, apa gunanya?
Kalau sampai saat ini kita masih saja merasa nggak punya bakat, satu-satunya cara adalah terus mencari. Mencari potensi apa yang kira-kira sedang tertidur pulas dalam diri kita. Jadikan langkah mencari potensi itu layaknya kita sedang mencari belahan jiwa sendiri. Kan lagi ngetrend tuh, di kalangan pemuda, “sedang mencari soulmate sejati”? Kalau sensasinya sudah seperti itu, apa sih tidak enaknya lagi? Seorang pemuda, yang darinyalah lahir berbagai ide, perlu pupuk yang bisa terus menyokong perkembangan bakatnya. Pupuk itu adalah niat dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Mulai detik ini, ayo cari dan genggam bakat kita, layaknya sepasang soulmate yang bahagia.:)